Terowongan Wilhelmina merupakan
terowongan kereta api terpanjang di Indonesia. Terowongan ini memiliki
panjang 1.208 meter dan dibangun untuk mendukung jalur kereta api rute
Banjar - Pangandaran - Cijulang (82 km). Terowongan ini
menembus bukit kapur di bawah Desa Empak dan Bagolo di Kecamatan
Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.Kabupaten Ciamis,
Propinsi Jawa Barat.
Terowongan Wilhelmina dibangun oleh
perusahaan kereta api SS (Staats Spoorwegen) dan dibangun pada tahun
1914 serta mulai digunakan pada 1 Januari 1921. Namun terowongan ini
kemudian menjadi non aktif seiring ditutupnya jalur kereta api rute
Banjar - Cijulang (82 km) pada 3 Pebruari 1981 karena mahalnya biaya
operasional dan sedikitnya pemasukan dari para penumpang kereta api.
Nama terowongan diambil dari nama ratu
dari Kerajaan Belanda yang memiliki nama lengkap Wilhelmina Helena
Pauline Maria. Wilhelmina menjadi Ratu Kerajaan Belanda dari tahun 1890
hingga 1948. Oleh masyarakat setempat, terowongan Wilhelmina sering
disebut dengan terowongan Sumber.
Keadaan terowongan itu kini sangat memprihatinkan. Rel-rel besi banyak yang sudah raib. Bahkan, sepanjang jalur kereta kini sudah berubah menjadi kebun kayu albasia.
Padahal, kalau terowongan ini dirawat dengan baik, banyak turis akan datang mengagumi terowongan ini.
“Dulu waktu terowongan masih bersih, banyak turis Belanda dan Jepang ke sini menyusuri terowongan ini,”
Terowongan Wilhemina sangat lurus dan panjang. Dari ujung terowongan satu, kita bisa melihat ujung terowongan yang lain, berupa setitik cahaya.
Untuk menyusuri terowongan ini, biasanya dilakukan dari sebelah timur. Disarankan untuk tidak lupa membawa senter. Soalnya di dalam terowongan gelap gulita. Dan sesekali terdengar suara kelelawar di langit-langit terowongan. Lumayan menyeramkan juga.
Di dalam terowongan, kita akan menemukan lubang-lubang penyelamat yang terdapat pada dinding kiri dan kanan terowongan. Dulu, lubang-lubang tersebut digunakan oleh petugas jalur kereta untuk berlindung saat kereta lewat. Keseluruhannya terdapat 22 lubang.
Terowongan ini adalah hasil kerja keras nenek moyang kita yang harusnya dapat kita jaga dan pelihara dengan baik. Sungguh sangat disayangkan sekali kalau karya besar nenek moyang kita berupa terowongan ini kini dibiarkan begitu saja dan tidak ada yang peduli.
Padahal kalau dimanfaatkan untuk pariwisata, pemandangan di sini sangat bagus. Dari ujung terowongan sebelah barat, terlihat pemandangan yang sangat indah. Jembatan kereta api layang Ciseel (Jembatan Cikacepit) yang melintas di atas lembah. Juga pemandangan menakjubkan muara Sungai Citanduy di Segara Anakan dengan latar Pulau Nusakambangan. Indaah sekali.
Jempatan Cikacepit Sungguh mahakarya yang sangat mengagumkan, jembatan seolah-olah menggantung di awang-awang. Jembatan Cikacepit ini mempunyai panjang ±1.250 m dengan lebar 1.70 m dengan tinggi dari permukaan tanah sekitar 100 m tanpa pelindung dikiri kanan jembatan. Pelindung buat orang yang kebetulan nyebrang justru adanya di bawah, sehingga orang harus meniti tangga dulu.
Pembangunan jalur kerata api ini menyisakan kisah-kisah seru dan menyedihkan. Konon, pada tahun 1916, penggalian terowongan dan jembatan di daerah ini sempat terhenti karena tidak ada tenaga ahli yang mau bekerja di tempat ini.
Alasannya, selain medannya sulit, banyak pekerja meninggal karena sakit. Namun, perusahaan kereta api Belanda terus berusaha menyelesaikan pembanguana jalur ini. Sebab, jalur ini sangat penting untuk mengangkut hasil bumi berupa kopra yang berlimpah di daerah ini.
Peninggalan bersejarah yang tak ternilai harganya itu kini terlantar. Mestinya, kita semua malu karena ternyata kita tidak bisa menjaga warisan sejarah itu.(Sumber : kidnesia.com)